Selasa, 13 Mei 2014

karakteristik resiko operasional dan imbal hasil



BAB I
PENDAHULUAN
            A. Latar Belakang
            Resiko menurut habib nadzir dan muhammad hasanudin adalah ketidak-pastian yang mengandung kemungkinan kerugian dalam bentuk harta atau kehilangan keuntungan atau kemampuan ekonomis. Resiko secara umum dalam perbankan terdapat ; resiko likuiditas, resiko kredit, dan resiko fluktuasi tingkat bunga.
            Selain resiko yang telah disebutkan di atas terdapat resiko operasional dan resiko imbal hasil. Resiko operasional muncul karena beberapa alasan utama yaitu penerapan program outsourcing, deregulasi dan globalisasi, regulasi, merger dan akuisisi, e-commerce, berbagai inovasi teknologi, dan serangan teroris.
Penggunaan teknologi informasi dengan sistem otomatisasi yang maju, pertumbuhan yang pesat dari e-commerce dan dilakukannya merger dan akuisisi skala besar, menguji kemampuan sistem yang terintegrasi. Peningkatan popularitas outsourcing dan penggunaan teknik-teknik keuangan yang mampu untuk mengurangi risiko kredit dan risiko pasar, disisi lain meningkatkan kemungkinan kerugian risiko operasional. Meskipun globalisasi memiliki beberapa manfaat bagi banyak pihak, namun dibalik itu globalisasi menambah kompleksitas dan diversitas budaya, manajemen dan staf.
Pertumbuhan teknologi keuangan yang semakin canggih mengakibatkan aktivitas bank dan profit risikonya menjadi lebih kompleks dengan beroperasi di pasar-pasar yang berbeda, yang menggunakan operasional dan sistem yang berbeda, Berta hukum yang berbeda pula. Akuisisi, merger, aliansi Skala besar dan juga konsolidasi menguji kapabilitas sistem baru bank yang terintegrasi, proses dan sumber days manusia. Kedua pemicu utama, yakni globalisasi dan teknologi internet, akan menghadapkan bank pads risiko operasional baru.
Investasi yang banyak diminati oleh investor ialah investasi dengan imbal hasil yang besar dan menguntungkan. Namun imbal basil juga terdapat banyak resiko.
BAB II
PEMBAHASAN
            A. Resiko Operasional
            a)  Pengertian Resiko Operasional
            Risiko operasional (operational risk) adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh kegagalan atau tidak memadainya proses internal, manusia dan sistem, atau sebagai akibat dari kejadian eksternal
            Risiko operasional pada umumnya terjadi di unit kerja yang memiliki volume transaksi tinggi, perputaran transaksi yang tinggi, perubahan struktural yang tinggi dan sistem yang kompleks. Kejadian risiko operasional hampir terjadi setiap hari di bank. Berdasarkan kemungkinan dan dampak yang terjadi, risiko operasional dapat dikelompokan sebagai risiko operasional yang sering terjadi namun dampak yang terjadi dinilai rendah atau high frequency – low impact. Kelompok kedua adalah frekuensi rendah atau jarang terjadi namun dampak kerugian dari risiko operasional tersebut tinggi atau yang sering disebut risiko operasional kategori low frequency-high impact. Sedangkan kelompok ke tiga adalah risiko operasional yang sangat-sangat jarang terjadi,namun bila terjadi dampak kerugian yang ditanggung bank sungguh luar biasa (catastrophic loss).
            Resiko operasional ( menurut habib hadzir dan Muhammad hasanudin) dapat dibagi menjadi beberapa sub-kategori, seperti risiko yang terkait dengan:
·         proses internal
·         kesalahan manusia
·         system informasi
·         kejadian eksternal
·         hukum dan regulasi (risiko legal)
·         ketidakcukupan prosedur dan control
Risiko operasional terutama terkait dengan berbagai masalah yang dapat diakibatkan oleh kegagalan proses di bank. Namun demikian risiko operasional tidak hanya mempengaruhi kegiatan usaha perbankan tetapi juga berbagai jenis kegiatan usaha lainnya. Sebagai contoh, pabrik mobil dapat menderita kerugian operasional bila tidak menerapkan tindakan kendali kualitas yang ketat atas model-model barunya.
b) Faktor – factor pemicu utama resiko operasional antara lain:
  • Volume bisnis dan operasional bank
  • Kecepatan proses bisnis dan operasional bank
  • Produk-produk dan atau aktivitas baru bank
  • Kecanggihan produk bank
  • Teknologi baru bank
  • Pasar baru yang dikembangkan bank
  • Kompleksitas dan ketergantungan terhadap teknologi informasi
  • Globalisasi
  • E-commerce
  • Ketentuan atau undang-undang baru
  • Tekanan dari pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
  • Tekanan regulasi
  • Perputaran pegawai
  • Kelemahan perjanjian
  • Diversitas budaya dari staf dan nasabah
  • Merger dan Akuisisi,
  • Reorganisasi
  • Kecepatan perubahan teknologi
  • Pemilihan lembaga pemeringkat
c) Perubahan tampilan risiko operasional
Risiko operasional bukan merupakan kelompok risiko baru; bahkan sebenarnya merupakan kelompok risiko yang sudah ada sejak dulu. Kegagalan risiko operasional adalah suatu hal yang umum dan terjadi sejak bank pertama didirikan.
Baik pengawas maupun bank memberi perhatian pada perubahan-perubahan dalam industri perbankan yang menyebabkan terjadinya berubahnya karakteristik risiko operasional. Kejadian yang secara historis mengakibatkan low-cost error semakin diikuti atau bahkan digantikan oleh kejadian yang lebih jarang terjadi, tetapi memiliki dampak yang lebih luas.
Terdapat beberapa alasan mengapa karakteristik risiko operasional berubah. Alasan-alasan tersebut adalah:
·         Otomatisasi
·         ketergantungan pada teknologi
·         outsourcing
·         terorisme
·         meningkatnya globalisasi
·         insentif dan trading – ‘rouge trader’
·         meningkatnya volume dan nilai transaksi, dan
·         meningkatnya litigasi.
B. Imbal Hasil
a) Pengertian Imbal Hasil
Menurut kamusbisnis.com imbal hasil (yield) adalah jumlah bunga atau deviden atau capital gain dan pendapatan lain yang dihasilkan dari investasi.
Investasi yang menghasilkan imbal hasil antara lain:
·         Obligasi
Menurut Wikipedia.com obligasi merupakan utang tetapi dalam bentuk sekuritas. Dalam obligasi yang menggunakan imbal hasil ada dua yaitu
ü  Obligasi syariah mudharabah
ü  Obligasi syariah ijarah
·         Reksa dana
Imbal hasil merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Jadi menurut Syarfisuwari imbal hasil reksa dana adalah nilai aktiva bersih atau net asset value. Nilai ini merupakan suatu tolak ukur dalam memantau hasil portofolio suatu reksadana. Namun imbal hasil dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
ü  Imbal hasil realisasi yaitu imbal hasil yang telah terjadi dan dihitung berdasarkan data historis. Imbal hasil realisasi berguna sebagai dasar penentuan imbal hasil ekpektasi dan resiko dimasa dating.
ü  Imbal hasil ekspektasi adalah imbal hasil yang diharapkan akan diperoleh investor dimasa mendatang
·         kontrak berjangka
Imbal hasil (yield curve) menunjukkan hubungan antara tingkat suku bunga-efektif dengan tanggal jatuh tempo suatu investasi pada waktu tertentu.
b) Macam – macam Risiko
Pada dasarnya resiko investasi yang menghasilkan imbal hasil sama yaitu :
·         Risiko politik dan ekonomi, berasal dari perubahan kebijakan ekonomi dan politik yang berpengaruh pada kinerja bursa dan perusahaan sekaligus, sehingga akhirnya akan membawa efek pada portofolio yang dimiliki suatu reksadana.
·         Risiko pasar yang berasal dari variabilitas return karena fluktuasi dalam keseluruhan pasarsehinnga berpengaruh pada semua sekuritas.
·         Risiko inflasi yang berasal dari menurunnya daya beli akibat terjadinya kenaikan harga.
·         Risiko spesifik yang melekat pada setiap sekuritas yang dimiliki.
·         Risiko menurunnya nilai unit penyertaan yang akan dipengaruhi harga efek- efek yang menyusun portofolionya. Ini berkaitan dengan menejer investasi dalam mengelola dananya.
·         Risiko likuiditas hanya terjadi pada perusahaan reksadana yang sifatnya terbuka
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Risiko operasional (operational risk) adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh kegagalan atau tidak memadainya proses internal, manusia dan sistem, atau sebagai akibat dari kejadian eksternal.
Resiko operasional ( menurut habib hadzir dan Muhammad hasanudin) dapat dibagi menjadi beberapa sub-kategori, seperti risiko yang terkait dengan:
·         proses internal
·         kesalahan manusia
·         system informasi
·         kejadian eksternal
·         hukum dan regulasi (risiko legal)
·         ketidakcukupan prosedur dan control
Terdapat beberapa alasan mengapa karakteristik risiko operasional berubah. Alasan-alasan tersebut adalah:
·         Otomatisasi
·         ketergantungan pada teknologi
·         outsourcing
·         terorisme
·         meningkatnya globalisasi
·         insentif dan trading – ‘rouge trader’
·         meningkatnya volume dan nilai transaksi, dan
·         meningkatnya litigasi.
Resiko Imbal hasil
·         Risiko politik dan ekonomi
·         Risiko pasar
·         Risiko inflasi
·         Risiko spesifik
·         Risiko menurunnya nilai unit penyertaan
·         Risiko likuiditas






















Daftar pustaka

Kamusbisnis.com
Nadzir Habib, Hasanudin Muhammad.ensiklopedi ekonomi dan perbankan syariah. Bandung: kafa bublishing.


Jumat, 01 November 2013

penerapan dan pengembangan akad tijarah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah hukumnya, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa mengandung unsur paksaan. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatang mengenai manfaat dan menghindarkan mudharat dalam hidup masyarakat. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antar sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al- Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini hal-hal yang akan di bahas hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan tijarah. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan tijarah
2.      Jenis – jenis akad tijarah
3.      Aplikasi akad tijarah

C.     Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas.






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
           Tijarah atau jual beli dalam istilah fiqh disebut al-ba’I yang menurut etimologi menjual atau mengganti. Secara terminology, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing- masing definisi sama. Sayyid Sabiq[1] mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Definisi lain dikemukakan oleh ulama hanafiah yang dikutip oleh Wahab al-Zuhaily[2] jual beli adalah saling tukar harta dengan harta dengan harta tertentu. Atau tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadaan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Proses pemindahan hak milik barang atau asset dengan mempergunakan uang sebagai medium.[3]
B. Dasar Hukum Jual Beli
             Terdapat beberapa ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah yang membicarakan jual beli, antara lain:[4]
1) surat al-Baqarah ayat 275:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
2) surat al-Baqarahayat 198:
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.”
3) Surat an-Nisa ayat 29:
“… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…”
Dasar hukum jual beli berdasarkan sunah Rasulullah,antara lain:
1) Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn Rafi’:
“Rasulullah saw.ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik. Rasulullah saw.menjawab : usaha tangan manusia dan setiap jual beli yang diberkati” (HR.Al-Bazzar dan Al-Hakim)
Artinya jual beli yang jujur, tanpa diiringi kecurangan-kecurangan, mendapat berkat dari Allah.
2)Hadis dari al- Baihaqi, Ibn Majah dan Ibn Hibban, Rasullullah menyatakan:
“jual beli itu didasarkan atas suka sama suka”
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli menurut ulama Hanafiah hanya satu,yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut mereka rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.
Akan tetapi rukun jual beli menurut jumhur ulama menyatakan ada empat[5] yaitu:
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli)
2. Ada shighat (lafal ijab dan qabul)
3. Ada barang yang dibeli
4. Ada nilai tukar pengganti barang
D.  Jenis- Jenis Jual Beli
Jenis- jenis jual beli dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Al- Musawamah
Al- Musawamah adalah jual beli biasa dimana penjual memasang harga tanpa member tahu si pembeli berapa margin keuntungan yang diperolehnya.
2.      At- Tauliyah
At- Tauliyah adalah menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun seolah-olah si penjual menjadikan si pembeli sebagai walinya (tauliah) atas barang atau asset.
3.      Al- Murabahah
Al- Murabahah merupakan salah satu konsep Islam dalam melakukan perjanjian jual beli. Konsep ini telah banyak dilakukan bank – bank atau lembaga – lembaga keuangan Islam untuk pembiyaan modal kerja, dan pembiyaan perdagangan para nasabahnya.
Murabahah merupakan salah satu bentuk perjanjian jual beli yang harus tunduk pada kaidah dan hokum umum jual beli yang berlaku dalam muamalah Islamiyah[6]
Adapun ketentuan – ketentuan Murabahah sebagai berikut[7] :
1)      Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari'ah:
1.      Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2.      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari'ah Islam.
3.      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4.      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6.      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8.      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.      Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
2)      Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1.      Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2.      Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4.      Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.      Jika uang muka memakai kontrak 'urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
3)      Jaminan dalam Murabahah:
1.      Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2.      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
4)      Hutang dalam Murabahah:
1.      Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.
2.      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3.      Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
5)      Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1.      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
2.      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
6)      Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
7)      Uang Muka Dalam Murabahah[8]
Pertama : Ketentuan Umum Uang Muka:
  1. Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
  2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
  3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
  4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.
  5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.
Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
8)      Potongan Pelunasan Dalam Murabahah[9]
Pertama: Ketentuan Umum
  1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
  2. Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.
9)      Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Yang Tidak Mampu Membayar[10]
Pertama: Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
  1. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati;
  2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
  3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah
  4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah;
  5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya.
Kedua: Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Aplikasi dalam perbankan
Bank syariah dengan menggunakan fasilitas murabahah dapat membiayai nasabahnya untuk modal kerja atau pembiayaan perdagangan.[11]
Sedangkan pada Murabahah KKP (kepada pemesan pembelian) umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi,baik domestic maupun luar negri, seperti melalui letter of credit (L/C).[12]
Aspek teknis
Dengan prinsip murabahah, Bank syariah akan membeli barang/ jasa lalu menjualnya kepada nasabahnya dengan mengambil margin keuntungan. Bank member waktu tangguh bayar kepada nasabahnya dengan jangka waktu yang disepakati.
4. Al- Muwadhanaah
Al- Muwadhanaah adalah menjual dengan harga barang lebih rendah dari harga beli atau dengan kata lain Al- Muwadhanaah merupakan bentuk kebalikan dari Al- Murabahah.[13]
Keteangan:
a) al- Muwadhanaah biasa dilakukan ketika sipenjual benar-benar membutuhkan likuiditas atau pada saat resesi ekonomi
b) Prinsip Al- Muwadhanaah (pengurangan harga) dapat dilakukan mana kala memberikan diskon dalam penagihan kredit sebelum jatuh tempo. Hal ini banyak dilakukan bank-bank islam di luar negri.
5. Berdasarkan jenis barang pengganti
a)      Al- Muqayadhah
Ba’I Al –Muqayadah adalah bentuk awal dari transaksi, dimana barang ditukar dengan barang (barter).
b)      Al – Mutlaq
Ba’I Al- Mutlaq adalah bentuk jual beli biaya dimana barang ditukar dengan uang.
c)      Ash- Sharf
Ash- Sharf atau Money Exchanging adalah jual beli valuta asing dimana uang ditukar dengan uang.
6. Berdasarkan waktu penyerahan barang/dana
a) Ba’I Bitmanan Ajil ( BBA )
Ba’I Bitmanan Ajil adalah menjual barang dengan harga asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati dan dibayar secara kredit.[14]
Dasar hukum :
“dari Suhaib ra: bahwa rasullah bersabda tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan (1) menjualnya secara kredit, (2) muqaaradah ( nama lain dari murabahah ), (3) mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah bukan umum untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah, Shubhu Assalam 4/147)”
Keterangan:
1. ba’I bitaman anjil adalah pengembangan dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu dalam pembayaran.
2. bentuk usaha ini dapat diterapkan dalam:
a. proses pengadaan barang dari nasabah
b.pembiayaan impor dari luar negri
3. dari sudut pandang fiqh bank tidak ada halangan untuk meminta kolateral dari nasabahnya atas suatu kredit tertentu. Bank dapat menahan surat-surat transaksi sebagai jaminan sampai nasabah membayar lunas seluruh kreditnya.
b) Bai’ as Salam
Bai’ as Salam adalah proses jual beli dimana pembayaran dilakukan dimuka mana kala penyerahan barang dikemudian.
Dasar hukum transaksi Bai’ as- Salam meliputi:
Al- Qur’an
“hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertransaksi tidak secara tunai untuk waktu tertentu hendaklah menuliskannya”
Hadis
Ibnu abbas berkata: manakala Rasulullah saw. datang ke Madinah ia mendapat kan para penduduknya melakukan transaksisecara as salam dalam tanam-tanaman dalam jangka waktu 2-3 tahun
Maka iapun bersabda: barang siapa melakukan transaksi as salam dalam tanam-tanaman, maka lakukanlah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas,waktu yang jelas.

Adapun ketentuan – ketentuan bai’ as salam sebagai berikut[15]  :
Pertama: Ketentuan tentang Pembayaran:
1.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua: Ketentuan tentang Barang:
1.      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Ketiga: Ketentuan tentang Salam Paralel:
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama,dan
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
Keempat: Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1.      Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2.      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3.      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.      Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia
Kelima: Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.
Keenam: Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Aplikasi dalam perbankan
Bai’ as- Salam biayasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relative pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai, dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut simpanan, dilakukan akad bai’ as- salam kedua, misalnya kepada bulogpedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang disebut salam parallel.
Bai’ as- salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industry, misalnya produk garmen.
c) Bai’ al- Istishna’
Bai’ al- Istishna’ adalah kontrak order yang ditandatangani bersama antara pemesan dengan produsen untuk  pembuatan suatu jenis barang tertentu atau suatu perjanjian jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada.
Dasar hukum transaksi bai’ al- Istisna’[16]
a) para ahli fiqh malikiah, Syi’ah dan Hambali mengqisaskan Bai’ al- Istishna’ dengan Bai’ as- Salam karena keduanya barang yang dipesan belum berada di tangan penjual manakala kontrak ditandatangani
b) Hanafiah membuat legitimasi al- Isstishna’ secara Istihsan (menganggap baik dan perlu), karena kepentingan umat terhadapnya. Hal ini menurutnya telah dilakukan sepanjang waktu dimana- mana dan tak seorangpun menyanggahnya.  Ini berarti suatu consensus dari umat (ijma’)

Adapun ketentuan-ketentuan Bai’ al-Istishna sebagai berikut:[17]
Pertama: Ketentuan tentang Pembayaran:
  1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
  2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
  3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kedua: Ketentuan tentang Barang:
  1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
  2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
  3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
  4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
  5. Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
  6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
  7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketiga: Ketentuan Lain:
  1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
  2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna'.
  3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.





BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Tijarah menurut Muhamad (2008) merupakan proses pemindahan hak milik barang atau asset dengan mempergunakan uang sebagai medium.
Jenis-jenis jual beli berdasarkat akad ialah
·         Al- Musawamah
·         At- Tauliyah
·         Al- Murabahah
·         Al- Muwadhanaah
Berdasarkan jenis barang pengganti
·         Al- Muqayadhah
·         Al – Mutlaq
·         Ash- Sharf
Berdasarkan waktu penyerahan barang/dana
·         Ba’I Bitmanan Ajil ( BBA )
·         Bai’ as Salam
·         Bai’ al- Istishna’





Daftar Pustaka
Abdul Rahman Ghazaly,dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: kencana Prenada Media Group
Fatwa DSN /DSN-MUI/IV/2000
Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta
Syafi’I Antonio muhammad.2001. Bank Syariah: Dari Teori Dan Praktek. Jakarta: Gema Insani.













[1] Sayyid sabiq,Op. cit.,hlm.126
[2] Wahbah al-Zuhaily.Op. cit . hlm 3305
[3] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm 20.
[4] Abdul Rahman Ghazaly,dkk. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: kencana Prenada Media Group. Hlm 68-69
[5] Wahbah al-Zuhaily,Op.cit., hlm.3309
[6] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm 22
[7] Fatwa DSN 04/DSN-MUI/IV/2000
[8] Fatwa DSN 13/ DSN-MUI/IX/2000
[9] Fatwa DSN 23/DSN-MUI/III/2002
[10] Fatwa DSN 47/DSN-MUI/II/2005
[11] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm. 24
[12] Syafi’I Antonio muhammad.2001. Bank Syariah: Dari Teori Dan Praktek. Jakarta: Gema Insani. Hlm. 106
[13] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm 28
[14] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm 30
[15]  Fatwa DSN 05/DSN-MUI/IV/2000
[16] Muhamad. 2008. System dan prosedur operasional bank syariah. Yogyakarta:UII Press Yogyakarta. Hlm 32
[17] Fatwa DSN 06/DSN-MUI/IV/2000